Jumat, 18 Maret 2011

SIAPAKAH YESUS KRISTUS BAGI VINSENSIUS?

Jean-Pierre Renouard, C.M. (Provinsi Toulouse, Prancis)

Saat kita memandang Kristus sebagai Misionaris dan Pelayan kita masuk dalam inti dari Mistik Vinsensian dan diyakinkan untuk menghidupi semangatnya dewasa ini. Pada saat yang sama kita tahu pasti bahwa perjumpaan dengan pribadi Yesus selalu memunculkan pengalaman batin seperti yang pernah dihidupi oleh St.Vinsensius secara mendalam dengan segenap energi dan keyakinannya. Ini menunjukkan kepada kita bagaimana kita bisa menjadi saksi-saksi Kristus yang hebat saat ini.
1. Yesus, Kekuatan dan Hidup Kita
Saat kita berbicara tentang Kristus, kita berada dalam lingkungan istimewa St.Vinsensius yakni Aliran Spiritualitas Prancis yang berpusat pada Kristus. Vinsensius hidup “dengan mata yang terpaku pada Yesus Kristus” seperti para pendengar dalam sinagoga Nazareth. Keseluruhan perhatiannya tertuju pada Penyelamat, dan dia memiliki gambaran yang hidup untuk memperkaya meditasi kita saat ini: Yesus adalah “kekuatan kita”, “hidup kita”, “makanan kita”(SV VIII, 20); Dia adalah kediaman yang hidup dari segala keutamaan: “kerendahan hati, kelembutan hati, pengendalian diri, kesabaran, kewaspadaan, kebijaksanaan, dan kasih” (VIII, 268); Dia adalah “aturan misi”( XII, 130) ; “kesayangan abadi manusia dan malaikat”(IV, 59); “bapa kita, ibu kita dan segalanya dari kita” (V, 537); “kehidupan dari hidup kita dan satu satunya keinginan dari hati kita” (VI, 576); “potret agung yang tak kelihatan di mana kita harus menyesuaikan seluruh tindakan kita.” (XI, 201). Sebuah rangkuman yang tepat diungkapkan oleh penulis biografinya yang pertama: “Tidak ada sesuatu yang menyenangkan diriku mampu menyisihkan Yesus Kristus.” (Abelly I, 103). Tanpa keraguan mengikuti jejak Kristus adalah pegangannya dalam setiap kesempatan, “buku dan cermin hidupnya”, menurut ungkapan yang indah dari Uskup Rodez itu(Abelly, Book III, 88).
Santo Vinsensius menulis kepada seorang konfrater yang iri hati kepada kesuksesan pastoral konfrater lain: “Jangan sampai seorang imam begitu memalukan karena menuntut penghargaan dalam pelayanan yang dia berikan kepada Tuhan dan karena sekarat di tempat tidurnya, jika dia melihat Yesus Kristus diganjar dengan penistaan dan tiang salib karena karyaNya. Ingatlah romo bahwa kita hidup dalam Yesus Kristus melalui kematianNya, dan kita harus mati dalam Yesus Kristus melalui kehidupanNya, dan hidup kita harus tersembunyi dalam Yesus Kristus dan dipenuhi dengan Yesus Kristus. Supaya mati seperti Yesus Kristus kita harus hidup seperti Yesus Kristus” (I, 276).
Kristus adalah pusat dari spiritualitas Vinsensian dan juga strategi misioner kita. Pertama tama kita adalah penerus Kristus dan misiNya dan Dia adalah pelaku utama dan misionaris dari Allah Bapa. Dia adalah utusan Allah. Delapan kali dalam beberapa tulisannya yang masih tertinggal untuk kita,Vinsensius menggunakan ungkapan yang diambil dari Lukas 4:18 :”Dia mengutusku untuk membawa kabar gembira kepada orang miskin”.Vinsensius disentuh secara mendalam oleh Yesus Sang Penyelamat. Vinsensius merasakan mendapat tugas misi yang sama. Dia juga berharap untuk menjadi pembebas: ”Dalam panggilan ini kita sungguh sungguh menyesuaikan diri dengan Tuhan kita Yesus Kristus, yang melaksanakan tujuan utamaNya saat datang ke dunia yaitu untuk menolong orang miskin dan peduli pada mereka. Evangelizare pauperibus misit me. Dan jika kita bertanya kepada Tuhan kita,”Apa yang Kau kerjakan di dunia? ‘Untuk menolong orang miskin’, “Apakah ada tugas lain?”, ‘Untuk menolong orang miskin’(XI, 98). Karena itu dengan segala cara, kita mengikuti Misionaris yang sempurna ini. Injil adalah sabda yang harus disampaikan kepada orang miskin: “Ini adalah tugas utama kita”. Oleh karenanya tugas ini tidak bisa digagalkan. Pemahaman ini menjadi lebih jelas dan lebih tepat ketika kita mulai dari mengkontemplasikan misteri-misteri Injil.
Tantangan Jaman Ini
Injil berlaku untuk segala jaman. Pribadi Yesus hadir tanpa batas waktu. Dalam kehadiranNya kita menghadapi tantangan seumur hidup. Tugas pertama kita adalah meniruNya. Masuk ke dalam perasaan perasaanNya, menemukan pemikiran-pemikiranNya dan arah hidupNya, merenungkan tindakan-tindakanNya, menyesuaikan langkah kita dengan langkahNya adalah hal pertama yang harus kita lakukan. Meniru tidak berarti memfotokopi Yesus secara magis, tetapi menyesuaikan cara berpikir dan bertindakNya sesuai dengan jaman kita. Hal ini menuntut doa harian yang membuat kita merenungkan tanggapan dari Yesus dan mengadaptasinya pada jaman kita. Hal ini mungkin merupakan tantangan terbesar yang dihadapi oleh keluarga Vinsensian saat ini. Demi menyesuaikan diri dengan dunia, seringkali kita mengesampingkan atau mengurangi perjumpaan kita dengan Kristus yang merupakan satu-satunya sarana untuk menyesuaikan hidup kita denganNya. Perayaan 350 tahun wafatnya Santo Vinsensius dan Santa Luisa memberi kita kesempatan untuk memperbarui jam doa kita seperti yang ditetapkan dalam Konstitusi CM No.47 ayat 1: “Dengan cara ini kita dimampukan untuk memahami (mendisermen) pikiran Kristus dan untuk menemukan cara yang tepat guna memenuhi misiNya.” Jelaslah bahwa kewajiban berdoa 1 jam per hari adalah suatu tanggung jawab pribadi. Pembagian waktu doa, sebagai contoh, bisa seperti ini: setengah jam doa bersama dan setengah jam doa pribadi. Lebih dari sekedar memenuhi aturan ini yang secara prinsip berkaitan dengan program komunitas, sangat perlu untuk menemukan kembali roh yang menjiwainya: untuk hidup dalam Kristus seperti yang telah dilakukan Santo Vinsensius. Tidak ada cara lain untuk pengudusan dan misi.
2. Mengenal Kristus dan Menyampaikan PesanNya
Setelah mengenal Kristus, yang menjadi persoalan kemudian adalah bagaimana cara menyampaikan pesan-pesanNya. Ini bukan persoalan penggunaan kata-kata yang hebat. Dalam berkotbah Santo Vinsensius menghindari ungkapan-ungkapan yang indah yang umum digunakan pada jamannya. Dia menganjurkan metode kecil (sederhana), sebab metode ini digunakan oleh Putra Allah untuk mewartakan InjilNya kepada manusia (XI, 242). Dibalik cara berkhotbah yang membuat orang kini tersenyum-- apa maksudnya, mengapa demikian, bagaimana melakukannya --, Santo Vinsensius menganjurkan sebuah gaya bicara yang umum, sederhana, konkrit, dan mudah dimengerti. Pewarta Injil hendaknya hati-hati agar jangan “memoles dan memalsukan Sabda Tuhan” (XI, 258). Yang terpenting bagi Santo Vinsensius adalah mewartakan Kristus dengan kata-kata yang sederhana dan dimengerti oleh umat. Di saat orang-orang di jamannya gemar menggunakan bahasa-bahasa yang canggih dan rumit, Vinsensius justru merombak gaya berkhotbah dengan menganjurkan kesederhanaan. Dia menegaskan penggunaan dari contoh-contoh: “Tuhan kita saat duduk di batu dekat sumur mulai mengajar seorang perempuan dengan meminta air. ‘Hai perempuan berilah Aku air’ kataNya kepada perempuan itu. Maka dia (bruder) dapat menanyakan kepada seorang umat dan kemudian juga kepada umat lain, seperti : Bagaimana keadaan kuda-kudamu? Bagaimana ini? Bagaimana itu? Bagaimana kabarmu? (XI, 344- anjuran kepada bruder untuk mewartakan Injil dalam pelayanan mereka sehari-hari). Vinsensius masih mengungkapkan: “Betapa bahagianya mereka yang saat menjelang ajal mengatakan hal ini: Tuhan telah mengutusku untuk membawa kabar gembira kepada kaum miskin! Perhatikan saudara-saudaraku bahwa tugas utama Tuhan kita adalah bekerja bagi kaum miskin.” (XI, 232-237).
Tantangan Jaman Ini
Mudahlah untuk melihat relevansi permenungan di atas untuk jaman ini karena misi ditujukan kepada orang miskin, orang kecil, sederhana, dan orang-orang yang haus akan Allah, bukan orang-orang terpelajar. Kehidupan adalah keprihatinan utama dari misionaris sejati. Misionaris sejati berangkat dari peristiwa harian, situasi dari masing-masing pribadi, kebutuhan-kebutuhan hidup seseorang, keprihatinan dan kerinduannya yang nyata. Ketika Yesus berdialog dengan wanita Samaria, Dia bicara dari hal yang konkrit menuju hal yang tersembunyi, dari apa yang bisa dilihat kepada apa yang dirindukan, dari hal-hal yang nampak pada sesuatu yang sejati. Dan Tuhan berhati-hati dalam berbahasa. Dewasa ini supaya bisa didengarkan, misionaris harus memperhatikan bahasanya. Apa yang aku katakan? Bagaimana Aku mengatakannya? Kita tidak boleh memberi hambatan yang menyulitkan dalam pewartaan iman. Kita tidak bisa lagi mewartakan iman dengan ungkapan-ungkapan yang mewajibkan: “…seorang harus… mereka hendaknya… seseorang wajib untuk…”, tetapi dalam ungkapan-ungkapan yang bersifat menganjurkan. Saya ingat sebuah penelitian yang menarik tentang bahasa yang digunakan Taize, khususnya cara-cara Bruder Roger untuk menyarankan, membangkitkan semangat, dan memotivasi. Bagaimana kita harus menjadi jelas dalam memberi pertimbangan, mengajar dan menantang secara efektif? Persoalan bahasa adalah persoalan nyata untuk jaman ini. Kita perlu untuk belajar dan memperbarui diri tanpa kehilangan inti pewartaan. Paus Paulus VI sudah menyadarkan kita akan penggunaan bahasa ini, yakni : yang mentransformasi tanpa mengkhianati (pesan Injil), yang terinkulturasi tanpa mengubah hakikat, yang menyegarkan tanpa mengosongkan artinya (Evangelii Nuntiandi No.63).
Oleh karenanya mewartakan Injil dewasa ini dimengerti sebagai suatu proklamasi baru. Konteks sosial menuntut evangelisasi baru. Beberapa situasi jaman ini yang menantang kita: prinsip keuntungan, efektivitas, efisiensi, penampilan, ideologi-ideologi yang dominan, persoalan-persoalan etika yang baru (kloning, ekologi, dan kekaburan identitas); dan pada saat yang sama ketakutan akan kekosongan, kelaparan spiritual, pencaharian makna, dan kehausan akan sesama. Kita menyaksikan pencarian manusia akan Yang Absolut, kebutuhan untuk hidup bersama, keterikatan pada kelompok, rasa sosial; dan semua yang berkaitan dengan kemanusiaan. Hal-hal ini membuka kemungkinan untuk mewartakan Yesus Kristus. “Kita perlu belajar untuk mewartakan solidaritas dan kemurnian dari pesan Kristiani, perasaan dan pemahaman iman”.
3. Kristus Sang Misionaris dan Pelayan
Bagi St.Vinsensius, Kristus Misionaris dan Kristus Pelayan tidak terpisahkan. Dari kontemplasinya akan misteri Kristus dan penyampaian dari pesanNya, kita tahu bahwa Santo Vinsensius melihat Kristus dalam diri orang miskin, dan orang miskin dalam diri Kristus. Kita tanpa henti menghayati panggilan berdasarkan Matius 25:40. Seluruh Vinsensian dipanggil untuk mengikutiNya dalam pelayanan. Komitmen pada cara hidup yang murni dan radikal dilakukan setiap hari dengan gerakan hati: melayani orang miskin adalah melayani Allah!. Untuk itu seorang harus memandang Yesus Kristus sendiri. Dia adalah Sabda Allah yang menjelma, seorang manusia di antara manusia, yang menggunakan waktunya dalam doa, hidup dalam komunikasi terus-menerus dengan Bapanya: “BapaKu dan Aku adalah satu” (Yohanes 10:30).
Tetapi Ia juga seorang yang melayani tiap hari dengan pengabdian yang tidak terbatas: “Yesus berkeliling ke desa dan kota, mengajar di Bait Allah, mewartakan kabar gembira Kerajaan Allah, dan menyembuhkan setiap penyakit.” (Markus 9:35). Yesus melekatkan dirinya pada pelayanan seperti saat dia meminta para muridnya dalam Lukas 12:35: “Hendaklah pinggangmu tetap terikat” Dia menyebut kita pelayan, sebuah kata yang kita temukan 76x dalam keempat Injil. Tetapi contoh yang paling jelas adalah saat pembasuhan kaki: “Dan Aku berada di tengah-tengahmu sebagai pelayan.” (Lukas 22:27). Dia memberi kesaksian sebagai seorang yang merendahkan dirinya sendiri di hadapan orang lain, menanggalkan diriNya dari segala kekuasaan, setiap gelar Ilahi dengan maksud untuk menempatkan diriNya dalam pelayanan, dan untuk membasuh kaki para rasul; suatu tindakan yang hanya dilakukan oleh seorang hamba: “Apa yang paling menyentuhku hari ini dan Jumat lalu adalah apa yang dikatakan tentang Tuhan kita, Dia yang adalah Tuhan atas segalanya telah membuat diriNya paling rendah dari semuanya, menjadi aib dan kehinaan manusia, selalu mengambil tempat terakhir kemana pun Dia pergi. Para konfratres yang terkasih barangkali kalian berpikir bahwa seorang manusia sungguh rendah hati dan sungguh merendahkan dirinya saat dia memilih tempat yang terakhir. Apakah seorang manusia merendahkan dirinya sendiri ketika mengambil tempat Tuhan kita? Ya, saudara-saudara, tempat Tuhan kita adalah tempat yang terakhir. Seorang yang ingin terkemuka tidak memiliki semangat Tuhan kita; bahwa Sang Penyelamat Ilahi tidak datang ke dunia untuk dilayani, tetapi untuk melayani; Dia mempraktekkannya dengan luar biasa, tidak hanya saat Dia tinggal dengan orang tua dan dengan orang yang dilayani (untuk mendapatkan penghasilan), tetapi bahkan saat tinggal bersama para rasulNya, dengan melayani mereka menggunakan tanganNya sendiri, dengan membasuh kaki mereka, dan dengan memberi mereka istirahat dari pekerjaannya.”( XI, 124)
Jangan lupa bahwa pembasuhan kaki terjadi menjelang sengsara Yesus di Kalvari, tempat pemberian diriNya yang tertinggi. Vinsensius memahami dengan baik kepenuhan pemberian diri Kristus dalam “perintah cinta kasih” (XII, 13). Kristus yang seperti ini membuat kita berlutut. “Marilah memohon kepada Allah untuk menjaga kita dari kebutaan ini; marilah memohon kepadaNya rahmat untuk selalu mencari tempat terendah.”(XI, 351) Yang Maha Tinggi menjadi Dirinya saat Dia menjadi yang Terendah.
Putri Kasih yang menyebut diri sebagai “hamba-hamba orang miskin yang tak berarti” lahir dari perendahan diri ini, dan ini masuk akal seturut logika Vinsensian: “Untuk menjadi Putri Kasih yang sejati, kalian harus melakukan apa yang dilakukan Putra Allah saat Dia di dunia. Dan apa yang utama Dia kerjakan? Sesudah menyerahkan kehendakNya dan mematuhi Santa Maria dan Santo Yoseph, Dia bekerja untuk sesamaNya, mengunjungi dan menyembuhkan yang sakit dan mengajar yang kurang berpendidikan demi keselamatan mereka. Betapa beruntungnya Anda para suster, dipanggil untuk cara hidup yang menyenangkan hati Allah. Akan tetapi kalian harus hati-hati untuk tidak menyalahgunakannya dan berusahalah menjadi lebih sempurna dalam cara hidup yang kudus ini. Kalian, gadis-gadis desa yang miskin dan putri para pekerja memiliki kebahagiaan menjadi wanita pertama yang dipanggil pada pelayanan kudus ini” (IX, 14).
Para konfratres (romo dan bruder) menjadi pelayan dalam situasi-situasi yang tak terduga; mereka menjadi administrator, pengunjung orang sakit dan bahkan pengurus pemakaman! Untuk menjadi pelayan seturut teladan Kristus adalah suatu cara hidup. “Berada dalam keadaan melayani” berarti suatu komitmen total setiap saat. Seseorang tidak pernah “cuti dari pelayanan” melainkan senantiasa berjaga. Santo Vinsensius menerapkan hal ini pada para pengikutnya. Pelayanan menempatkan seseorang dalam “sikap mengasihi”, di setiap waktu dan tempat.
Tantangan Jaman Ini
Jelaslah bahwa St.Vinsensius menghendaki pengikutnya menjadi ahli dalam pelayanan jasmaniah dan material; dia menempatkan kita di jalan Kristus yang berbelaskasih, terbuka pada segala kelemahan, untuk solider, untuk karya pendampingan. Lewat teladanNya, dia mengirim pengikutnya untuk terus menerus menggali makna Orang Samaria yang Baik Hati di antara “orang-orang yang terpinggirkan, korban bencana dan ketidakadilan”. Bila kita setia pada intuisi St.Vinsensius, dan setia pada visinya akan Kristus terdapat ladang yang luas untuk misi. Yesus, pelayan kabar gembira, menantang kita saat Dia menyembuhkan orang sakit, mendengarkan orang yang memohon kepadaNya, membangkitkan orang mati, dan menjalankan apa yang diwartakanNya dalam Luk 4:18-22. Perwujudan pelayanan ala Yesus sangat beragam saat ini dan menuntun kita pada bidang etika, keadilan, perdamaian dan kehidupan sosial secara umum. Tetapi mengatasi kekhususan setiap daerah, tidakkah Keluarga Vinsensian dianjurkan untuk mentargetkan karya sosial dan belaskasih pada suatu tujuan yang tepat? Mungkin kita perlu menentukan pilihan karya yang akan menyatukan dan sifatnya dinamis. Sebagai contoh, misalnya kita dapat bersatu untuk menangani bersama pecandu narkoba atau kaum migran. Bukankah Keluarga Vinsensian akan lebih berhasil dengan cara ini?
Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh romo Paulus Dwintarto CM dari terjemahan Inggris oleh romo Marcelo Manimtim, C.M. ( Provinsi Filipina dan Direktur C.I.F. diParis)

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright by kevin indonesia  |  Template by Blogspot tutorial