Jumat, 18 Maret 2011

SIAPA YESUS BAGI LUISA DE MARILLAC?

Sr Elisabeth Charpy, P.K. Provinsi of Prancis Utara
dan Sr Louise Sullivan, D.C. Provinsi Albany, New York

Mengapa Inkarnasi?
Luisa de Marillac suka memahami sesuatu dengan jelas. Dia biasa merenungkan apa sebabnya Allah mengutus PutraNya ke dunia. Satu kalimat merangkum pemikirannya tentang sebab dibalik Inkarnasi: “Allah tak pernah menunjukkan kasih yang lebih besar kepada ciptaanNya daripada ketika Dia memutuskan untuk menjadi manusia.” (Spiritual Writings, 700)
Setelah Adam menolak Allah dalam hidupnya dan ingin menjadikan dirinya sendiri sebagai allah, Inkarnasi menunjukkan perhatian besar Allah bagi umat manusia. Allah ingin membaharui kontak dengan pendosa pada kedalaman penderitaannya dan memulihkan kepercayaan dirinya. Dia ingin manusia untuk memahami martabatnya sebagai citra dan persamaan dengan Allah. Luisa de Marillac bersiteguh bahwa keinginan ilahi ini hanya dapat dipenuhi hanya dalam penghargaan menyeluruh bagi kebebasan manusia.
Setiap individu dapat menanggapi rahmat ini atau menolaknya sesuai dengan keputusannya sendiri. Allah tidak menentukan lebih dahulu apa yang harus dipilih manusia. Setiap pribadi bebas dan memiliki kapasitas penuh untuk membuat pilihan dan berkata ya atau tidak kepada inisiatif Allah.
Pemenuhan Inkarnasi
Luisa suka membayangkan Trinitas berbicara satu sama lain, mencari jalan untuk mengungkapkan seluruh kasihnya kepada manusia, dan memutuskan bersama untuk Inkarnasi Sang Sabda:”Begitu manusia berdosa, Pencipta, yang ingin memperbaiki kesalahan ini dengan tindakan agung kasih murni, memerintahkan, dalam Dewan IlahiNya, agar salah satu dari tiga Pribadi menjadi manusia. Dengan melakukan hal ini, Dia membuktikan kerendahan hati yang mendalam dan sejati” (Spiritual Writings, 700)
Janji inkarnasi pribadi kedua Trinitas tercatat dalam rencana kasih Allah bagi umat manusia. Bagi Luisa, kerendahan hati sebagaimana kasih menyatakan diri Allah yang sesungguhnya. Allah bukan lagi di kejauhan, bukan Allah penuntut, yang Mahakuasa sebagaimana sering dinyatakan orang. Inkarnasi itu sendiri telah cukup menyatakan ini. Namun, banyak tindakan dalam hidup Yesus lebih menegaskan hal ini. Dengan kelahirannya di palungan Yesus menjadi seorang anak agar lebih mudah didekati oleh ciptaanNya
(Spiritual Writings, 718) Luisa merenungkan tentang “kerendahan hati Allah yang ditunjukkan dalam pembaptisanNya” (Spiritual Writings, 719) Dan, sementara merenungkan tentang pembasuhan kaki pada malam Kamis Putih, dia berseru” Tiada sesuatupun menghalangi saya untuk merendahkan diri. Karena saya mendapat teladan dari Tuhan kita” (Spiritual Writings, 715) Yesus berhak untuk mengingatkan pengikutNya akan kewajiban mereka menghormati Dia, namun dia mau merendahkan diri hingga “membasuh kaki para rasulNya” (Spiritual Writings, 719)
Maria Ibu Yesus
Inkarnasi Putra Allah adalah suatu yang nyata. Sabda menjadi manusia dalam diri Perawan Maria. Dengan rasa syukur yang besar dan penuh emosi, Luisa mengkontemplasikan pilihan Allah atas Maria, seorang perempuan sederhana dari Nazareth:”Allah telah menetapkan dia untuk menjadi bunda PutraNya” (Spiritual Writings, 735) Dari pengalaman pribadinya, Luisa tahu apa artinya memberikan hidup bagi seorang anak, menyelenggarakan hidupnya dengan bagian yang paling intim keberadaannya, darahnya. Ia ingin untuk mengungkapkan sepenuhnya kebahagiaan yang memenuhi dirinya:”Terpujilah Engkau senantiasa, Ya Allah ku, karena pilihan yang Kau jatuhkan atas Perawan Kudus! …. Engkau menggunakan darah Perawan terberkati untuk membentuk tubuh PutraMu yang terkasih” (Spiritual Writings, 801)
Segala kemuliaan Maria mengalir dari keibuannya yang ilahi. Luisa memaklumkan bahwa Maria adalah “karya besar Allah yang mahakuasa dalam kodrat yang murni manusiawi” (Spiritual Writings, 831) Bukankah memuji Maria atas pilihan Allah baginya juga memuji Allah sendiri? Allah demikian mengasihi umat manusia sehingga Dia ingin datang sendiri ketengah-tengah mereka dengan menerima kemanusiaanNya dari Maria
Kemanusiaan Kristus yang Kudus
Pada tahun 1652, Luisa de Marillac menulis kepada para suster di Richelieu untuk mengingatkan mereka pentingnya mengkontemplasikan hidup Putera Allah selama hidupnya di dunia. Disitulah mereka akan menemukan kasih sejati: “Kelembutan, keramahan, dan kesabaran harus menjadi praktek hidup Putri Kasih sebagaimana halnya kerendahan hati, kesederhanaan dan cinta akan kemanusiaan yang kudus Yesus Kristus, yang adalah kasih sempurna, merupakan semangat mereka. Itulah, para susterku terkasih, ringkasan dari apa yang saya pikir perlu saya katakana kepadamu tentang Aturan kita.” (Spiritual Writings, 406)
Dalam suratnya yang panjang Agustus 1655 kepada suster-suster yang hidup jauh di Polandia, Luisa juga menekankan pentingnya mengkontemplasikan hidup Kristus yang manusiawi:”…hormatilah Yesus Kristus dengan melaksanakan keutamaan-keutamaan yang diajarkanNya sendiri dalam kemanusiaanNya yang kudus” (Spiritual Writings, 478)
Surat-surat terakhir Luisa kembali pada tema yang sama. Pada Natal 1659 (3 bulan sebelum wafatnya!), dia menulis kepada Genevieve Doinel: “ Engkau mengundang saya ke palungan agar saya dapat bertemu denganmu di sana dekat kanak-kanak Yesus dan BundaNya yang kudus … Engkau akan belajar dari Yesus , para susterku yang terkasih, untuk mempraktikkan keutamaan yang kokoh, sebagaimana Dia lakukan dalam kemanusiaaanNya yang kudus, begitu Dia turun ke dunia. Melalui teladan Yesus pada masa kanak-kanak kamu akan memperoleh segala yang kamu butuhkan untuk menjadi orang kristiani sejati dan Puteri Kasih yang sempurna” (Spiritual Writings, 666)
Penekanan Luisa pada kontemplasi akan kemanusiaan Kristus menunjukkan betapa besar keinginannya agar kehidupan setiap Puteri Kasih menjadi cerminan wajah Kristus dengan kebaikannya yang tak terbatas dan kasihnya yang tak terhingga. Kristus adalah benar-benar Aturan bagi Puteri Kasih sebagaimana juga bagi segenap Keluarga Vinsensian.
Yesus Penebus
Luisa de Marillac yang mendapat pembinaan teologi yang kokoh, mengenali bahwa: “ Inkarnasi Putera Allah ada dalam rencana abadi penebusan umat manusia” (Spiritual Writings, 830) Putusnya hubungan Allah dengan umat manusia akibat dosa tak bisa berlangsung selamanya. Dengan mengutus PutraNya ke dunia, Allah hendak membaharui hubungan dan memberi kesempatan umat manusia untuk menemukan kembali makna keberadaannya. Bagi Luisa Penebusan adalah penciptaan baru, suatu penciptaan kembali yang hanya mungkin terjadi pada akhir proses yang panjang dari perubahan, kematian, dan kebangkitan kembali.
Penderitaan umat manusia agaknya bagi Luisa merupakan perpanjangan penderitaan dari kemanusiaan Kristus. Pelayanan kasih dari masing-masing anggota Keluarga Vinsensian adalah kelanjutan dari Penebusan, memungkinkan setiap orang miskin yang terhina dan terabaikan untuk hidup kembali, bangkit dan menjadi pribadi yang hidup, terbebaskan dari kejahatan dan dosa, singkatnya, merdeka. Refleksi yang menakjubkan dari Luisa ini menggemakan refleksi Santo Paulus yang berani berkata: “ Sekarang aku bersukacita bahwa aku boleh menderita demi kamu, dan mengenapkan dalam tubuhku apa yang masih kurang pada penderitaan Kristus bagi tubuhNya, yakni jemaat” (Kol 1:24)
Penderitaan Putra Allah begitu mendalam sehingga Luisa perlu menyisipkannya dalam cap Serikat Putri Kasih: “ Kasih Yesus tersalib mendorong kita.” Bagi Luisa, kasih ini harus menjiwai dan membakar hati setiap Putri Kasih bagi pelayanan mereka yang sangat membutuhkan. Luisa sering menutup surat-suratnya dengan referensi kepada kasih yang tiada taranya terwujud dalam Yesus di atas Salib. Ia membuat kata-kata santo Yohanes dalam suratnya yang pertama menjadi milkinya: “Inilah kasih itu: bukan kita yang pertama-tama mengasihi Allah, namun Dialah yang telah mengasihi kita dan mengutus PutraNya sebagai korban penebusan dosa-dosa kita. Karena itulah kita mengenal kasih: Yesus telah memberikan hidupNya bagi kita, maka kita juga harus memberikan hidup kita bagi saudara-saudari kita.” (1 John 4, 10, 16)
Ekaristi The Eucharist
Ekaristi tidak terbatas pada saat kehidupan Kristus. Ketika saatnya telah mendekat, Yesus menemukan jalan untuk memperpanjang itu sedemikian rupa sehingga selalu bersamakita. Luisa de Marillac takjub akan peristiwa ekaristi yang luar biasa:”Putra Allah mengambil rupa manusia … Bagaimanapun ini tidak memuaskan kasihNya yang besar bagi kita. Ia menginginkan persatuan tak terpisahkan anatara kodrat ilahi dengan manusiawi. Ia memenuhi ini setelah Inkarnasi dengan pengadaan terpuji Sakramen Mahakudus di altar di mana kepenuhan ilahi bersemayam terus menerus dalam Pribadi Kedua dari Tri Tunggal Mahakudus.” (Spiritual Writings, 784)
Sepertinya bagi Luisa Allah ingin terus menerus menyatakan kasihNya yang agung bagi umat manusia. Inkarnasi telah mewujudkan kerinduan besar akan persatuan ini. Ekaristi mengkonkritkannya dengan cara yang lebih agung. Luisa tak pernah berhenti pada aspek ”kenangan dan kurban” dari Ekaristi. Ia berbicara lebih banyak tentang komunio ”tindakan yang demikian terpuji, dan secara manusiawi, tak dapat dimengerti” (Spiritual Writings, 822)
Menerima Tubuh Kristus, menurut Luisa, berarti ambil bagian dalam kehidupan Allah. Kristus memebrikan dirinya sebagai santapan agar manusia memperoleh tenaga baru darinya untuk melaksanakan tugasnya di dunia. Dalam mengikuti Kristus, orang kristiani dipanggil untuk memberikan segenap dirinya jika mereka mau membawa hidup dan kasih kepada sesamanya. Penerimaan komuni membawa kekuatan yang luar biasa karena itu memberi kita ”kemampuan untuk hidup di dalam Dia sebagaimana Dia hidup dalam kita” (Spiritual Writings, 823)
Untuk menanggapi anugerah yang demikian dari Allah, Luisa menginginkan bagi dirinya dan bagi mereka yang didampinginya dalam perjalanan rohani ” persekutuan kasih” (Spiritual Writings, 823) dengan Allah. Apakah benar-benar mungkin bagi manusia untuk mengalami persekutuan demikian dengan Allah? Saat syukur sesudah komuni memberi waktu untuk mengungkapkan lagi kepeda Allah segala sukacita, segala syukur karena Kristus datang ke dalam diri kita untuk membuat kita menjadi seperti Dia. Marilah kita bersukacita ”dalam mengkontemplasikan penemuan terpuji ini dan persekutuan kasih yang dengannya Allah melihat diriNya dalam diri kita, membuat kita, sekali lagi seperti Dia. Ini dilakukanNya dengan menyampaikan bukan hanya rahmatNya, namun diriNya sendiri.” (Spiritual Writings, 823) Luisa de Marillac tidak tahu bagaimana untuk bersyukur kepada Tuhannya dan Allah nya karena telah mau tinggal di dunia agar semua orang mempersembahkan kepadaNya kemuliaan yang telah diterima KemanusiaanNya yang kudus di surga.
Kesimpulan
Luisa mempunyai pemahaman yang sangat jernih dan mendalam akan Kasih Ilahi. Seperti penulis Kitab Suci, dia menyadari bahwa “Allah adalah api yang menghanguskan” (Ibr 12:29). Dalam hidup mereka sehari-hari, para suster dan semua saja yang ambil bagian dalam karisma vinsensian diundang untuk membiarkan Api Ilahi ini mengisi keberadaannya dan menerima kepenuhan kasih yang dicurahkan Roh ke dalam hati mereka. Dalam relasi inilah mereka akan menemukankekuatan, tenaga, dan kreativitas untuk melaksanakan pelayanan kasih bersama mereka yang menderita kemiskinan dalam berbagai bentuk, yang lama maupun yang baru.
Luisa de Marillac menyadari bahwa untuk mengikuti Yesus dan melayani Dia dalam anggotaNya yang menderita berarti mengasihi dengan ”kasih yang luar biasa” (Spiritual Writings, 829), dengan kasih yang kuat, kokoh, dan tak terguncangkan oleh kesulitan apapun. Kasih yang demikian kuat mewujudnyata dalam hidup sehari-hari dengan perhatian kepada manusia, kelembutan dan kebaikan hati bagi semua orang. Semakin Kasih Allah ini berkembang, semakin bertumbuh juga kesadaran akan martabat dan kebebasan dari setiap orang dan perhargaan bagi setiap orang. Inilah cara Kristus mengungkapkan kasihNya.
Pertanyaan Refleksi
Mana aspek dari Yesus sebagaimana ditunjukkan oleh Luisa yang bergema di hati anda?
Bagaimana kita bersama dapat mendalami karisma Vinsensian sehingga meresapi dan mengarahkan pelayanan kita?
Diindonesiakan oleh rm Sad Budi CM

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright by kevin indonesia  |  Template by Blogspot tutorial