Selasa, 03 Februari 2009

BELAS KASIH HARUS DIWUJUDKAN DIMANA SAJA DAN KAPAN SAJA

Sr Alberta Telaumbanua SCMM (75 th) yang kini pensiun di rumah lansia dan provinsialat Medan mengisahkan pengalamannya mengamalkan belas kasih.
Waktu ditugaskan sebagai kepala asrama putri di Sibolga saya merangkap kerja di sekretariat keuskupan Sibolga. Di samping kesibukan itu, mata saya selalu melihat bila ada kemiskinan, khususnya di suatu kampung kumuh. Saya mengatakan kepada seorang umat yang kaya. Dia tertarik dan ingin tahu, maka saya mengajaknya melihat sendiri. Dia tergerak untuk menolong dengan memperbaiki beberapa rumah mereka selain beberapa pertolongan lain.

Kemudian waktu tugas di Pasaman sebagai ibu komunitas saya sering mengunjungi para transmigran miskin yang tinggal di desa-desa sekitar. Berkali kali saya terjatuh naik motor, beberapa tulang juga sempat patah, namun begitu sembuh saya pergi lagi kunjungi mereka. Pastor parokinya karena orang asing sulit untuk bisa berkomunikasi dengan mereka. Karena itu sangat mengharapkan agar saya bisa mengunjungi mereka, kadang dia mengantar saya dengan mobil. Dari kunjungan kunjungan itu saya mengetahui kebutuhan mereka, dan melaporkan kepada pastor paroki untuk dapat menolong mereka.
Waktu ditugaskan di Jakarta 1993-1998 saya menjadi ibu komunitas. Pastor paroki yang mengenal saya waktu di keuskupan Padang minta saya juga menjadi pengurus panti jompo. Saya agak keberatan karena akibat jatuh berkali-kali saya sulit untuk berjalan. Tapi dia tetap memaksa dan menjanjikan antar jemput. Saya sanggupi asal dia ijin kepada provincial kami. Provinsial setuju. Maka saya menjalan tugas itu dengan senang hati. Para jompo juga senang saya temani setiap pagi. Sore saya kembali ke komunitas. Dalam perjalanan pulang pergi itu saya beberapa kali menjumpai anak anak di jalan dekat rumah kami. Saya sapa mereka dan bertanya kenapa tak sekolah? Dengan polos mereka menjawab: orang tua kami tak punya biaya. Hati saya terusik, saya tanya sana sini apa yang kita bisa buat? Tak ada yang menanggapi. Setiap kali bertemu anak-anak saya tanya apakah mereka mau belajar. Mereka serempak menjawab: mau! Akhirnya saya berketetapan akan mengajar mereka sendiri. Saya ke gereja dan minta papan tulis yang tak terpakai. Pastor memberikannya. Saya bawa ke garasi kami. Saya mulai mengajak anak-anak belajar. Saya kunjungi orang tuanya di gubuk-gubuk dekat kompleks perumahan kami. Mereka senang sekali kalau anak-anak bisa belajar. Jumlahnya makin lama makin banyak. Jelas selain papan, dibutuhkan buku dan alat tulis untuk anak-anak. Saya tak kurang akal. Rumah jompo yang saya pimpin sering dikunjungi ibu-ibu donatur. Saya bilang mereka apa mau memberi buku dan alat tulis untuk anak anak miskin? Dengan senang hati mereka memberi. Saya pikir saya harus mengajar dengan kreatif. Saya bukan guru, walau pernah mengajar TK, dan menjadi ibu asrama, serta mengajar agama. Maka saya ke bruderan Budi Mulia Gunungsahari yang sekolahnya terkenal bagus. Saya tanya buku ajar yang menarik untuk mengajar membaca. Mereka punya, tapi harganya mahal. Saya bilang apa saya boleh minta. Berapa anak suster? Tigapuluh. Mereka kelihatan keberatan, maka saya bayar separo. Dengan peralatan yang cukup baik anak-anak makin senang belajar membaca, menulis dan menggambar. Orang tua mereka senang kalau anak-anak membawa pulang buku tulis dan hasil gambar mereka. Suatu hari sepulang dari gereja saya terkejut ada banyak polisi pamong praja. Ternyata gubuk gubuk itu telah diratakan dengan tanah. Saya sangat sedih. Saya tergerak untuk menampung mereka. Maka saya bicarakan maksud saya dengan komunitas. Mereka mengatakan suster mudah saja menampung mereka, namun sampai kapan? Nanti sulit mengeluarkan mereka dari rumah kita. Walau ibu komunitas, saya mendengarkan keberatan mereka. Saya masih menemukan beberapa anak dan terus mengajar mereka sampai saya dipindahkan ke Padang.
Di Padang pun banyak orang miskin. Saya sudah semakin tua, hanya mau berbagi pengalaman kecil. Saya hidup sangat hemat, sabun mandipun hampir tak pernah beli (karena saya dapat cukup banyak sabun setiap ulang tahun he he he), maka uang saku saya terkumpul lumayan. Dan setiap kali ada orang miskin yang membutuhkan saya beri mereka dari tabungan saya. Suatu hari datang kepada saya seorang mahasiswa minta tolong saya agar bisa membayar uang ujiannya Rp 15000,- . Dengan jujur ia mengatakan sudah mendapat Rp 3000,- dari perawat di depan. Saya masuk kamar lihat uang saya masih Rp 15000,-. Mau saya berikan Rp 12000,-. Tapi saya pikir mungkin dia butuh lain, tak baik memberi pas. Maka saya berikan semua. Dia sangat berterima kasih, tangan saya diciuminya. Esoknya setelah selesai ujian, dia datang lagi untuk ucapkan terimakasih berulang-ulang. Saya sangat bahagia, sumbangan kecil saya bagi dia sepertinya segunung hadiah.


0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright by kevin indonesia  |  Template by Blogspot tutorial