Rm. Rafael Isharianto, C.M.
Setiap tahun kita merayakan Hari Natal. Dan tentu saja, umat Kristiani merayakan Hari Natal bukan untuk memenuhi suatu program tahunan yang sudah digariskan dalam jadual, melainkan karena perayaan itu sendiri memiliki makna. Perayaan Hari Natal akan menjadi suatu kegiatan ritual belaka jika kita tidak memahami maknanya.
Pada perayaan Hari Natal, kita mendengar salah satu kalimat dalam Kitab Suci yang berbunyi: “Sang Sabda telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita” (Yoh 1:14). Kalimat ini menggarisbawahi satu kebenaran yang hendak diwartakan oleh penulis Injil Yohanes. Intinya adalah bahwa Allah tidak menyelamatkan manusia dengan ide-ide atau teori-teori belaka. Allah juga tidak menjanjikan keselamatan kepada manusia dengan retorika yang mengagumkan. Akan tetapi, Allah memilih untuk mewujudkan semua rencana penyelamatan-Nya secara nyata, melalui suatu peristiwa, melalui suatu tindakan kongkrit. Rencana penyelamatan Allah menjadi kenyataan dengan lahirnya Yesus Kristus, Anak-Nya, di dunia ini. Putera Allah mau hidup menyatu dan sama dengan manusia yang menderita. Dari sini, Ia pun tidak enggan memeluk salib.
Dengan menjadi manusia, Yesus merasakan semua pengalaman manusia. Kecuali dalam hal dosa, Yesus pernah mengalami aneka kegembiraan, gelak tawa, antusiasme, kekecewaan, kesepian, penolakan dan sebagainya. Oleh sebab itu, Yesus tahu bahwa setiap manusia sesungguhnya membutuhkan cinta dan penerimaan sebagaimana dia adanya. Tidak mengherankan bila semua yang dikerjakan Yesus tidak lain daripada memperlakukan setiap pribadi sebagai orang istimewa. Yesus menunjukkan bahwa setiap orang berharga di mata Allah; siapa pun dia, betapa pun mencolok kekurangannya!
Ada satu kearifan yang dapat kita gali dari perayaan Hari Natal. Salah satunya adalah bahwa umat Kristiani tidak boleh berpuas diri hanya dengan ide-ide, janji-janji muluk atau dengan diskusi-diskusi yang melayang-layang. Kita tahu bahwa masyarakat kita sudah kenyang dengan aneka janji dan pernyataan manis. Kelahiran Yesus menguatkan kita untuk berani mewujudkan niat-niat baik kita selama ini. “Sang Sabda telah menjadi manusia”. Sabda Allah tidak berhenti sebagai retorika yang indah di atas kertas. Sabda itu dinyatakan secara kongkrit dalam suatu tindakan keberpihakan kepada manusia.
Sehubungan dengan hal ini, kita patut mengingat warisan rohani Santo Vinsensius a Paulo. Sudah sering kita mendengar bahwa spiritualitas Santo Vinsensius adalah spiritualitas aksi, spiritualitas tindakan. Akan tetapi aksi atau tindakan di sini hendaknya tidak dimengerti sebagai semacam bentuk kecanduan kerja (workaholic) atau pun suatu aktivisme untuk mengisi kekosongan hidup. Spiritualitas aksi Santo Vinsensius berhubungan dengan upaya untuk melaksanakan kehendak Allah yang ingin menyelamatkan semua orang (José Maria Ibañez, Vicente de Paùl, buscador y realizador incansable de la voluntad de Dios, 1982:245). Maka dalam bertindak, diperlukan disermen yang baik agar tindakan kita mengalir bukan dari ambisi-ambisi pribadi, melainkan dari rencana Allah. Dan inilah yang membedakan spiritualitas tindakan dari aktivisme atau pun kecenderungan workaholic. Santo Vinsensius menandaskan hal tersebut ketika mengatakan: “Tunggulah sejenak dan Anda kalian akan mengetahui rencana-rencana Allah dan bagaimana Allah telah menghendaki agar dunia ini tidak binasa. Oleh sebab itu, di dalam belaskasih-Nya, Putera Allah memberikan hidup-Nya bagi mereka” (SV, XI, 263). Maka dengan logika yang sama, Santo Vinsensius mengajak semua rekan kerjanya untuk juga mempersembahkan hidup mereka bagi pelayanan orang papa dengan berkarya. Ia berkata, “Saudara-saudara, marilah mengasihi Allah dengan menyingsingkan lengan baju dan dengan mencucurkan peluh di dahi kita” (SV, XI, 733).
Di tengah meroketnya jumlah korban ketidakadilan dan kesenjangan sosial dewasa ini (korban PHK, terorisme, kerusuhan sosial dan sebagainya), para Vinsensian ditantang untuk mengkongkritkan komitmen mereka – yang sekaligus merupakan komitmen Gereja Universal – yaitu ‘preferential option for the poor’. Meskipun di sana sini sudah ada usaha serius dari pihak Gereja, masih sering terdengar bahwa seruan ‘option for the poor’ hanya bergema di dalam ruang kuliah, pertemuan-pertemuan resmi, forum diskusi, acara pendalaman iman dan kurang diejawantahkan secara kongkrit di dalam gaya hidup dan karya Gereja sehari-hari. Gereja masih belum luput dari atribut sebagai Gereja kaya dan untuk kaum kaya.
Semangat Natal menyentil kesungguhan kita, utamanya para Vinsensian, dalam memberikan hidup untuk menjadi pelayan kaum miskin. Sebagai Vinsensian, kita diajak untuk menghayati komitmen preferential option for the poor secara sungguh-sungguh, dalam kata dan tindakan, dalam hidup kita sehari-hari. Komitmen untuk menghidupi preferential option for the poor perlu ditindaklanjuti di dalam gerakan-gerakan nyata, yang lahir dari kerinduan untuk melaksanakan kehendak Allah. Perwujudan komitmen ini kiranya merupakan sebuah tindakan yang sesuai dengan semangat Natal. Di sanalah, kita mengkongkritkan segala gagasan, niat dan rencana indah kita.
Selamat Hari Raya Natal.
Selasa, 03 Februari 2009
ALLAH BERKARYA MEWUJUDKAN JANJI-NYA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar